SEJAJAR.NEWS – Mahkamah Konstitusi (MK) resmi mengabulkan Gugatan Perkara Nomor 136/PUU-XXII/2024 bahwa anggota TNI-Polri yang terlibat dalam politik praktis dapat dikenakan sanksi pidana. Putusan ini disampaikan dalam sidang pada Kamis (14/11/2024).
Ketua MK, Suhartoyo, menjelaskan bahwa revisi ini bertujuan memperkuat netralitas dan integritas pemilu. Frasa “TNI/Polri” dan “pejabat daerah” kini ditambahkan ke pasal tersebut, sehingga aturan ini tidak hanya berlaku bagi pejabat negara, aparatur sipil negara (ASN), dan kepala desa, tetapi juga pejabat daerah dan anggota TNI-Polri.
Sanksi Tegas untuk Pelanggaran
Anggota TNI-Polri atau pejabat yang melanggar ketentuan ini dapat dikenakan hukuman pidana penjara antara 1 hingga 6 bulan, serta denda antara Rp 600.000 hingga Rp 6 juta. Pelanggaran yang dimaksud mencakup tindakan yang langsung atau tidak langsung menguntungkan pasangan calon tertentu dalam Pilkada.
Penyesuaian dari Bawaslu
Ketua Bawaslu RI, Rahmat Bagja, menyebutkan bahwa pihaknya akan menyesuaikan mekanisme pengawasan sesuai dengan putusan ini. “Kami telah berkomunikasi dengan institusi TNI dan Polri untuk membahas teknis pengawasan,” ujar Bagja dalam acara Deklarasi Kampanye Pilkada Damai, Minggu (17/11/2024).
Bagja menambahkan bahwa putusan MK ini memperkuat dasar hukum bagi Bawaslu dalam memastikan netralitas TNI-Polri pada Pilkada 2024, sehingga kepercayaan publik terhadap demokrasi dapat terjaga.
Dampak Positif bagi Demokrasi
Putusan ini disambut baik oleh berbagai pihak yang menilai netralitas aparat sebagai kunci penting dalam pelaksanaan pemilu yang adil dan transparan. Dengan aturan baru ini, pengawasan terhadap pejabat dan aparat TNI-Polri diharapkan semakin efektif, mengurangi potensi konflik kepentingan, serta menjaga kelancaran Pilkada 2024.(*)